SBY atau JKW ?

Di seminar Pra-Munas dan Konbes NU 2017 di Palangka Raya tempo hari, isu yang dibahas adalah kesenjangan ekonomi dan penguatan ekonomi warga. Munas/Konbes sendiri akan digelar pada 23 s.d. 25 November di NTB dengan tema “Menguatkan Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga.” Dalam Pra-Munas/Konbes Palangka Raya, bicara sebagai narasumber dalam sesi I seminar ekonomi Faisal Basri, pengusaha Sudamek, akademisi Kalteng Danes Jayanegara, dan narsum dari Kementerian Kesehatan yang bicara soal stunting. Sedianya saya turut menjadi panelis di sesi I, tetapi karena Pak Sudamek minta pindah sesi, saya bicara di sesi II bersama penggerak ekonomi mikro Bahrudin (Qaryah Thayyibah Salatiga) dan Farhan Slamet (Kalteng).
Sambil menunggu giliran di sesi II, saya menyimak para narasumber di sesi I. Faisal Basri (FB) bicara pertama. Ekonom ini, kalau kita ikuti tulisan dan pernyataan-pernyataannya di media, sangat kritis hampir kepada semua rezim yang berkuasa. Di zaman SBY, dia galak sekali menyoroti kebijakan ekonomi pemerintah. Di awal pemerintahan Jokowi-JK, FB sempat membantu Jokowi memimpin Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM). Selepas itu, dia kembali menjadi ekonom merdeka, bebas bicara apa saja. Orang boleh berseberangan dengan FB, tetapi dalam dugaan saya, hanya orang independen seperti FB yang bisa kritis dengan siapa saja. Suaranya tidak keluar berdasarkan pesanan. Sebagaimana tersiar dalam tulisan dan komentar-komentarnya di media, FB menyoroti kritis program ekonomi Jokowi. Dia cela proyek infrastruktur Jokowi yang dibilang ugal-ugalan. Proyek infrastruktur Jokowi, katanya, semakin menambah ketimpangan. Pembangunan infrastruktur Jokowi hanya menyenangkan kelas menengah kota. Dia kecam kebijakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Dia minta NU men-jewer Mentan yang kebijakannya, menurutnya, menyengsarakan petani. Padahal di situ banyak warga Nahdliyin. Dia juga mengkritik Menteri Luhut yang dibilang ‘kebelet’ sekali menggeber proyek reklamasi. Panjang lebar dia kemukakan data-data makro-ekonomi. Saya sendiri tidak asing karena sering dikupas di blog-nya yang tempo-tempo saya kunjungi.
Selepas presentasi, FB turun dari panggung, dengan maksud menyimak paparan dari narasumber lain. FB beranjak persis di samping saya. Setelah basa-basi, saya tergerak untuk mengajukan pertanyaan nakal. “Dari sudut pandang ekonom, lebih bagus mana: orientasi ekonomi era SBY atau JKW?” FB tertegun sejenak, mungkin tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia masih diam, sampai saya katakan “secara kasar saja!” Akhirnya dia menjawab: “Secara kasar saja ya, lebih bagus Jokowi.” “Selama sepuluh tahun, lanjutnya, SBY membakar duit sekitar Rp 1.000 triliun untuk subsidi BBM, tidak menyisakan apa-apa kecuali polusi.” Jokowi ini ambisius mengejar infrastruktur, meskipun duitnya cekak. Pontang-panting Pemerintah menggenjot penerimaan pajak, meskipun tidak tercapai. Menkeu sudah kayak vacuum cleaner, duit rakyat yang remah-remah saja mau disedot. Karena besar pasak daripada tiang, APBN dipasok dari utang. Itu harus dilakukan karena opsi pemangkasan belanja tidak populer di mata birokrat di Kementerian dan Lembaga (K/L) dan politisi di DPR. Tetapi ini masih mending, utang dipakai buat bangun infrastruktur. Zaman SBY, penerimaan migas habis untuk bayar subsidi. Kadang tidak cukup, sisanya ditambah dari utang. Itu garis besar argumen FB.
Saya menyela, “Jokowi ini ini ada unsur hoki-nya. Dia berhasil merelokasi subsidi BBM pas hargnya minyak mentah dunia turun. Bayangkan kalau harga minyak tinggi, lantas subsidi BBM dicabut, bisa tiap hari mahasiswa demo.” Saya meneruskan: “Jokowi ini saya lihat ada niat baiknya. Dia misalnya mulai jalankan reforma agraria untuk atasi ketimpangan penguasaan tanah. Dia bilang minimal akan bagikan 12,7 juta hektar tanah untuk rakyat dan petani. Tetapi, saya dengar sendiri dari seorang menteri, tanah yang bisa dibagikan tidak sebesar itu. Itu hanya ada di citra satelit. Begitu turun lapangan, tanahnya ada yang sudah dikuasai orang/perusahaan secara ilegal, tumpang tindih kepemilikan, dst. Artinya, tidak semudah membalikkan tangan. Niat baik Jokowi ini juga sering tidak ‘nyambung’ dengan kebijakan menteri dan birokrasi. Ego sektor terjadi di tingkat K/L. Jadi, meski Jokowi ini secara pribadi baik, tidak menjamin pemerintahannya akan sukses mengeksekusi program. Jokowi masih hidup di tengah kepungan oligarki ekonomi dan politik. Dia akan sulit mengikis ketimpangan penguasaan aset karena bakal menabrak dinding oligarki yang meriung di sekitar siapa saja yang berkuasa, termasuk dirinya.”
Obrolan terhenti, karena FB harus naik lagi ke panggung untuk sesi tanya jawab. Terlepas dari kelemahannya, saya melihat belum ada pesaing sepadan untuk Jokowi di 2019.
MKS
Previous
Next Post »